Grebeg Maulud Yogyakarta – Tradisi Gunungan di Alun-Alun yang Penuh Makna – Grebeg Maulud Yogyakarta – Tradisi Gunungan di Alun-Alun yang Penuh Makna
Setiap tahunnya, Yogyakarta menghadirkan sebuah perayaan budaya dan spiritual yang begitu khas dan sarat makna: Grebeg Maulud. Tradisi ini merupakan puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang di laksanakan dengan kemegahan dan keunikan khas Kesultanan Yogyakarta.
Asal-Usul Grebeg Maulud
Kata “grebeg” sendiri dalam bahasa Jawa berarti “iring-iringan” atau “keramaian yang mengiringi suatu peristiwa penting”. Maka dari itu, Grebeg Maulud bukan sekadar perayaan agama, melainkan juga prosesi budaya yang menyatukan raja dan rakyat dalam satu harmoni.
Gunungan: Simbol Kesuburan dan Kemakmuran
Puncak dari Grebeg Maulud adalah pengeluaran gunungan dari dalam keraton. Gunungan adalah susunan hasil bumi seperti sayuran, kacang-kacangan, cabai, telur rebus, hingga makanan tradisional yang di susun menyerupai bentuk gunung. Bentuk ini tidak hanya estetis, tetapi juga simbolis.
Dalam kepercayaan Jawa, gunung melambangkan tempat yang suci dan tinggi. Oleh karena itu, gunungan menjadi lambang kemakmuran, kesuburan, dan berkah dari Tuhan yang di berikan kepada rakyat melalui Sultan sebagai pemimpin spiritual dan politik.
Setidaknya ada tujuh jenis gunungan yang biasanya di keluarkan dalam Grebeg Maulud, namun yang paling terkenal adalah Gunungan Lanang (gunungan laki-laki), Gunungan Wadon (gunungan perempuan), dan Gunungan Pawuhan (untuk masyarakat umum). Masing-masing memiliki makna filosofis tersendiri, yang memperkaya nilai dari tradisi ini.
Prosesi Grebeg: Dari Keraton ke Alun-Alun
Pagi hari pada perayaan Grebeg Maulud, ribuan warga sudah memadati kawasan Alun-Alun Utara, menanti keluarnya gunungan dari Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Prosesi di mulai dengan iring-iringan prajurit keraton lengkap dengan busana tradisional dan senjata khas, yang mengantar gunungan dengan langkah tertib dan penuh wibawa.
Gunungan dibawa dengan tandu khusus dan di kawal ketat. Ketika gunungan sampai di halaman Masjid Gedhe Kauman, para abdi dalem melakukan doa bersama sebagai bentuk syukur. Setelah itu, gunungan “di serahkan” kepada rakyat.
Rebutan Gunungan: Antara Tradisi dan Harapan
Momen paling di tunggu-tunggu adalah saat gunungan “di luluh-lantakkan” alias di perebutkan warga. Ribuan orang berdesak-desakan untuk mendapatkan bagian dari gunungan, mulai dari sayur, telur, hingga keripik. Ini bukan sekadar aksi tanpa makna — masyarakat percaya bahwa bagian dari gunungan mengandung berkah, dan siapa pun yang mendapatkannya akan memperoleh rezeki, keselamatan, dan kesuburan.
Meski terlihat riuh dan kacau, prosesi rebutan ini berlangsung dalam semangat kebersamaan. Tak sedikit pula yang setelah mendapat bagian, langsung pulang dan menyimpannya sebagai jimat atau slot deposit 10k di masak bersama keluarga sebagai bentuk rasa syukur.
Warisan Budaya yang Terus Hidup
Karena itu, Grebeg Maulud bukan hanya atraksi budaya atau tontonan wisata. Lebih dari itu, ia adalah cermin hidupnya nilai-nilai kejawen dan Islam dalam harmoni. Tradisi ini menunjukkan bagaimana Yogyakarta mempertahankan akar budayanya tanpa mengabaikan nilai-nilai religius yang berkembang dalam masyarakat.
Setiap tahun, tradisi ini juga menarik perhatian wisatawan lokal maupun mancanegara. Bagi sebagian besar pengunjung, menyaksikan Grebeg Maulud adalah pengalaman spiritual dan budaya yang tak terlupakan. Tidak hanya melihat keindahan prosesi, tetapi juga merasakan energi kolektif dari ribuan manusia yang datang dengan harapan, doa, dan semangat kebersamaan.
Penutup
Grebeg Maulud di Yogyakarta adalah contoh nyata bagaimana sebuah tradisi mampu menyatukan masa lalu dan masa kini, kerajaan dan rakyat, budaya dan agama. Gunungan bukan sekadar tumpukan hasil bumi — ia adalah simbol berkah, harapan, dan hubungan spiritual antara pemimpin dan warganya.